Menu

Senin, 08 September 2014

SA’I, PERJUANGAN TIADA HENTI & UJIAN BERAT ITU DIMULAI DI MINA


 SA’I, PERJUANGAN TIADA HENTI


Siapakah pendirinya? Mereka adalah keluarga Nabi Ibrahim. Khususnya Siti Hajar dan anaknya, Nabi Ismail. Dua orang ibu dan anak inilah yang telah menjadikan kawasan mengerikan itu menjadi tempat yang menarik untuk disinggahi para pedagang karavan. Tentu saja, dengan seizin Allah Sang Sutradara Kehidupan, setelah Nabi Ibrahim berdoa kepada-Nya agar lembah itu menjadi negeri yang penuh rezeki dan sejahtera.
QS. Ibrahim (14): 37
Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah-Mu (Baitullah) yang dihormati. Ya Tuhan kami agar mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung (mengunjungi) mereka dan beri rezekilah mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur.
Ibrahim membawa anak istrinya dari Palestina untuk ditempatkan di lembah gersang itu atas perintah Allah. Berhari-hari mereka menempuh perjalanan sejauh 1.500 kilometer, sambil membawa Ismail yang masih bayi. Ibrahim tak bercerita kepada istrinya tentang perintah Allah itu sampai mereka berada di lembah cikal bakal kota Mekah.
Sesampai disana barulah Hajar mengetahui maksud Ibrahim membawanya dalam perjalanan jauh itu. Ia begitu kaget ketika Ibrahim menyampaikan bahwa ia dan anaknya yang masih bayi itu akan ditinggalkan disana. Sementara Ibrahim sendiri akan kembali ke kawasan Palestina untuk melanjutkan syiar agama Tauhid bersama istri pertamanya, Sarah. Karena, selama ini pusat penyebaran agama Ibrahim memang berada di sekitar tanah Kan’an itu. Diantaranya, Ibrahim juga masuk ke negeri Mesir yang bersebelahan dengan kawasan Palestina.
Sebagai tokoh agama yang disegani, Ibrahim pernah memperoleh hadiah seorang budak dari penguasa Mesir, yang kemudian dibebaskan dari perbudakan. Budak berkulit hitam bernama Siti Hajar itu lantas dijadikan sebagai bagian dari keluarganya. Dikarenakan berpuluh tahun tidak juga punya anak, maka Sarah yang menjadi istri Ibrahim menyarankan agar Ibrahim menikahi Siti Hajar yang sangat baik budi pekertinya itu. Ia berharap Allah memberikan keturunan darinya sebagai penerus risalah Ibrahim. Maka, Ibrahim pun menikahi Hajar dan lahirlah putra pertamanya: Ismail.
Begitulah, sesampai di lembah tandus di pedalaman jazirah Arab itu Ibrahim menyampaikan tujuannya membawa Hajar dan Ismail. Hajar pun memandang Ibrahim dengan rasa tak percaya, bahwa ia akan ditinggalkan berdua saja. Ia melihat ke sekelilingnya, tak ada pepohonan, tak ada sumber air, tak ada kehidupan. ‘’Benarkah, kami akan engkau tinggalkan di tempat seperti ini, Ibrahim?’’ Tanya Hajar. Ibrahim tak mampu menjawab pertanyaan istrinya dengan kata-kata. Ia hanya menganggukkan kepalanya, sambil membalikkan badan meninggalkan mereka.
Tentu saja Hajar tak puas dengan jawaban Ibrahim. Sambil menggendong anaknya ia mengikuti langkah Ibrahim yang meninggalkannya menuju ke atas bukit. Untuk kedua kalinya Hajar bertanya kepada Ibrahim, apakah ia benar-benar akan ditinggalkan di tempat yang tak ada kehidupan itu. Dan Ibrahim sekali lagi tak mampu menjawab dengan kata-kata, karena ia sendiri pun sebenarnya merasa berat meninggalkan anak semata wayang yang telah dirindukan selama puluhan tahun itu. Tapi ia menguatkan hatinya, dan kemudian menganggukkan kepalanya sambil mempercepat langkah meninggalkan anak istrinya.
Setengah berlari Hajar mengejar Ibrahim, sambil bertanya dengan nada sangat penasaran. Tapi kali ini dengan redaksi yang berbeda: ‘’Ibrahim, apakah ini perintah Allah?’’ Ibrahim semakin mempercepat langkahnya, dan lagi-lagi menganggukkan kepalanya.
Begitu Ibrahim mengiyakan bahwa ini adalah perintah Allah, sekonyong-konyong Hajar menghentikan langkahnya mengejar Ibrahim. Wanita yang dipuji-puji Sarah sebagai orang yang berbudi mulia itu mendekap erat-erat anaknya yang masih bayi. Dan, ia pun membalikkan badan menuju tempat dimana Ibrahim meninggalkannya pertama kali.Subhanallah..!
Membaca kisah ini hati saya selalu tercekat. Ada semacam sedu sedan yang naik ke kerongkongan dan menjalar ke mata, menyebabkannya terasa panas dan berkaca-kaca. Sedemikian hebatnya istri Ibrahim yang bernama Siti Hajar itu. Begitu mendengar bahwa semua ini adalah perintah Allah, mendadak sontak ia menaatinya. Sungguh sebuah keimanan yang luar biasa dahsyatnya. Mengalahkan segala ketakutan dan kekhawatiran yang mencekamnya. Ia begitu yakin, jika Allah yang menghendaki, pasti ada jaminan yang tak perlu diragukan lagi..!
Dan Ibrahim, Sang Khalilullah – Kesayangan Allah – itu pun melangkah dengan berat hati meninggalkan orang-orang yang disayanginya. Tetapi, sebelum menghilang di balik bukit dia membalikkan badannya menatap anak istrinya nun jauh di dasar lembah. Dan kemudian ia bermunajat kepada Allah dalam doa yang diabadikan di dalam kitab suci Al Qur’an sebagaimana saya kutipkan di atas. Doa bagi kesejahtean dan keselamatan istri, anak, dan keturunannya sampai di akhir zaman.
Tinggallah Siti Hajar dan Ismail yang harus berjuang mempertahankan hidupnya di padang tandus yang sangat panas itu. Maka, terjadilah apa yang tercatat dalam sejarah, bahwa Siti Hajar harus berlari-lari antara bukit Shafa dan Marwa untuk mencari jalan keluar atas ujian yang diberikan kepadanya. Sampai di kali yang ke tujuh, Hajar yang menggendong anaknya itu terduduk kelelahan di tempat semula. Dibaringkannya Ismail di pasir beralaskan kain seadanya. Ia merenungi keadaan sambil melihat anaknya yang mulai menangis kehausan. Tak ada lagi air minum yang dimilikinya. Demikian pula telah kering air susu di tubuhnya.
Di saat kritis itulah pertolongan Allah datang. Persis di tempat Ismail menendang-nendangkan kaki sambil menangis itu terlihat rembesan air yang semakin lama semakin banyak. Siti Hajar tercengang dan kemudian berteriak: zam..zam.. zam..zam..! Yang bermakna: berkumpullah.. berkumpullah..! Ia pun membuat bendungan kecil dari tanah pasir, sehingga ada air menggenang yang semakin jernih. Jadilah kolam mata air.
Genangan air itu menyebabkan burung-burung mulai berdatangan untuk ikut minum. Dan tak lama kemudian sejumlah pedagang karavan berdatangan pula disebabkan melihat rombongan burung yang beterbangan rendah. Mereka meminta air kepada Siti Hajar dengan menukar makanan dan segala apa yang dibutuhkan ibu dan anak itu. Subhanallah, ibu dan anak itu terselamatkan..!
Sejak itu, lembah yang tadinya sepi dan tandus sering didatangi oleh para pedagang karavan yang melintas di kawasan itu. Mereka kemudian berkemah dan bermalam berhari-hari disana. Sehingga kawasan yang tadinya mati menjadi semakin ramai, dan akhirnya menjadi kota yang sejahtera. Allah telah menunjukkan kebesaran-Nya lewat hamba-hamba yang saleh dan berserah diri hanya kepada-Nya. Sejak itu pula Mekah menjadi pusat syiar agama Ibrahim selain Palestina, khususnya ketika Ibrahim dan Ismail kelak mendirikan Baitullah disana. Perjuangan tanpa putus asa dan kepasrahan yang mendalam dari keluarga teladan ini telah menjadi bukti yang sangat mencerahkan bagi umat Islam sedunia..!
QS. Al Hijr (15): 56.
Ibrahim berkata: “Tidak ada orang yang berputus asa dari rahmat Tuhannya, kecuali orang-orang yang tersesat.”
UJIAN BERAT ITU DIMULAI DI MINA
Waktu itu, Ibrahim sedang melepas rindu karena bertahun-tahun tidak bertemu istri dan anaknya. Sejak bayi memang Ismail telah ditinggalkan oleh Ibrahim di sebuah lembah tandus, cikal bakal kota Mekah. Ismail tinggal di Mekah bersama ibundanya, Siti Hajar hingga masa remaja. Sedangkan Ibrahim pulang ke Palestina, dan tinggal bersama istri dan anaknya yang lain – Sarah dan Ishak. Kota Palestina berjarak sekitar 1.500 kilometer dari Mekah.

Sejak meninggalkan mereka belasan tahun yang lalu itulah Ibrahim melepas rindu untuk pertama kalinya, dengan mengunjungi Hajar dan Ismail di kota Mekah. Ia begitu bangga dengan istrinya yang telah berhasil membesarkan Ismail menjadi anak yang saleh dan penyabar. Ia juga bangga dengan Ismail yang telah tumbuh sebagai remaja yang sangat penyantun dan taat kepada Allah serta orang tuanya. Maka, Ibrahim pun mulai melibatkan Ismail dalam syiar agama Islam. Dan lantas, mengajaknya untuk meninggikan pondasi Kakbah menjadi sebuah rumah ibadah, pusat penyebaran agama Islam di Jazirah Arabiyah.

QS. Al Baqarah (2): 127-128
Dan (ingatlah), ketika Ibrahim membangun pondasi Baitullah bersama Ismail. (Mereka berdoa): "Ya Tuhan kami terimalah (amal ibadah) kami, sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui".

Ya Tuhan kami, jadikanlah kami berdua orang yang berserah diri kepada-Mu. Demikian pula (jadikanlah) diantara anak cucu kami umat yang berserah diri kepada-Mu. Dan tunjukkanlah kepada kami cara dan tempat-tempat ibadah haji kami. Dan terimalah taubat kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.

Maka Allah pun menunjukkan tatacara ibadah haji kepada keluarga Ibrahim. Mereka diperintahkan untuk berjalan ke arah Arafah, sebuah padang berjarak sekitar 22 kilometer dari tempat tinggal mereka di Mekah, dimana Hajar dan Ismail biasa menggembalakan ternak mereka. Nah, pada tanggal 8 Dzulhijjah itu sampailah mereka di Mina, lantas beristirahat disana.

Dalam tidurnya Ibrahim bermimpi aneh, yakni disuruh menyembelih anaknya – Ismail. Ia tergeragap, terbangun karenanya. Sebuah mimpi yang sangat jelas, dan menggetarkan hatinya. Ia termenung memikirkan mimpi itu. Tetapi, tidak bercerita kepada istri dan anaknya. Ia pun mengajak mereka untuk meneruskan perjalanan ke Arafah yang masih belasan kilometer lagi. Di Arafah itulah Ibrahim ingin berkemah untuk memperoleh petunjuk Allah tentang tatacara ibadah haji.

Ibrahim dan keluarganya sampai di Arafah menjelang malam hari, memasuki tanggal 9 Dzulhijjah. Mereka pun berkemah disana. Malam itu, Ibrahim bermimpi kembali dengan sangat jelas: lagi-lagi diperintahkan untuk menyembelih anak yang sangat dicintainya. Hatinya semakin gemetar, ia gundah jangan-jangan ini adalah perintah Allah terkait dengan ibadah haji yang sedang dimintakan petunjuk kepada-Nya.

Sampai keesokan harinya, Ibrahim terpanggang dalam kegelisahan. Hatinya ragu-ragu dengan mimpi yang aneh itu. Tetapi, mau bercerita kepada istri dan anaknya ia tidak sampai hati. Akhirnya Ibrahim memutuskan untuk bermunajat kepada Allah seusai Zhuhur. Ia berdiam di dalam kemahnya melakukan wuquf – menghentikan segala kegiatannya untuk memfokuskan diri berdzikr dan berdoa kepada-Nya memohon petunjuk.

Wuquf itu dilakukannya sampai menjelang matahari terbenam. Di dalam wuqufnya itulah Ibrahim memperoleh keyakinan, bahwa mimpi yang dialaminya itu adalah perintah dari Allah. Sebuah proses terbukanya hijab jiwa, yang membuatnya bisa menangkap informasi kebenaran yang ditunjukkan Allah kepadanya. Maka ia pun menyudahi wuqufnya, dan mengajak keluarganya melanjutkan perjalanan untuk kembali ke Mekah.

Menjelang tengah malam, keluarga Ibrahim sampai di suatu tempat bernama Muzdalifah. Di tempat ini keluarga Ibrahim beristirahat, dan untuk ketiga kalinya Ibrahim bermimpi dengan isi yang sama: diperintahkan mengorbankan Ismail. Hatinya pun menjadi mantap, bahwa ini memang perintah dari Allah untuk menguji keimanannya.

Tiba-tiba terlintas di benaknya tentang janji yang pernah diucapkannya puluhan tahun yang lalu. Sejak muda Ibrahim suka melakukan qurban. Puluhan kambing dan unta disembelihnya untuk dibagi-bagikan kepada orang-orang yang miskin dan kelaparan. Sekaligus untuk mencontohkan kepada manusia bahwa praktek berkurban yang diajarkan oleh sejumlah agama pagan adalah tidak benar, dikarenakan mereka membuang daging-daging ternak secara mubazir, bahkan kadang-kadang diselingi mengorbankan manusia untuk dipersembahkan kepada para dewa. Berkurban ala Ibrahim adalah memadukan keikhlasan untuk Allah sekaligus menebarkan manfaat untuk orang-orang yang membutuhkan pertolongan.

QS. Al Hajj (22): 36
Dan telah Kami jadikan untukmu unta-unta itu sebagian dari syi'ar (agama) Allah. Kamu memperoleh kebaikan yang banyak padanya. Maka sebutlah olehmu nama Allah ketika kamu menyembelihnya dalam keadaan berdiri. Kemudian apabila telah roboh, maka makanlah sebagian (daging)nya dan (sebagian lagi) berikanlah untuk makan orang-orang miskin yang tidak meminta-minta. Dan (juga) untuk orang yang meminta. Demikianlah Kami telah menundukkan unta-unta itu kepada kamu, mudah-mudahan kamu bersyukur.

Nah, sesaat setelah berkurban dalam jumlah besar itulah Ibrahim sempat berkata, bahwa seandainya Allah menghendaki dia untuk berkurban lebih banyak lagi ia pasti akan melakukannya. Termasuk apa saja yang paling dicintainya. Begitulah memang keikhlasan Ibrahim dalam bertuhan kepada Allah sebagaimana doanya yang sering kita baca dalam shalat: ‘’sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku hanya untuk Allah semata...’’

Ternyata ucapan Ibrahim waktu masih muda itu kini ‘ditagih’ oleh-Nya. Ibrahim diminta untuk mengorbankan Ismail yang sangat dikasihinya. Anak yang diharapkan akan meneruskan syiar agama Tauhid yang sedang diperjuangkannya. Betapa berat beban jiwa Ibrahim ketika itu. Tetapi, karena ini adalah perintah Allah, maka dengan kesabaran dan kepasrahan yang sangat mendalam ia pun bertekat untuk menjalankannya..!
 Wallahu a’lam bishshawab.